Rabu, 25 Desember 2013

(Belajar untuk) Tidak Heran

Sering ada yang ngomong ke gw, "Kok lo kerjaannya tiap hari komen terus sih? Ini dikomplen, itu dikomplen, yang sana dikritik, yang di situ dihina, sikat gigi mama dipake, rokok bapak dimakan, sepeda adik kamu bakar, kabel listrik kamu kepang. Kamu tuh sebenernya kenapaaa?"

Mereka heran sama gw, selaku tukang komplen. Ya abis gimana? Gw hidup di dunia yang penuh dengan ketidaksempurnaan ini. Baru keluar rumah, tau-tau macet karena ada komunitas yang minta sumbangan pembangunan mesjid di tengah jalan, yang kagak keliatan pembangunannya ada di mana, mungkin di dalam tanah. Baru ujan dikit, udah macet total karena ada terowongan jalan layang yang 3/4 lajurnya ditutup oleh pemotor yang berteduh. YA LU PAKEIN BUAT KONDANGAN ANAK LU AJA SEKALIAN ITU KOLONG JALAN LAYANG, BIAR NGGA PERLU NYEWA TENDA. Nanti lagi asik-asik nikmatin macet Jakarta, mendadak ada iringan pejabat yang minta dikasih jalan, yang lebih pengen gw kasih santet aja.

Tapi ya, gw ngga boleh terlalu heran sama kelakuan mereka yang begini-begitu. Dulu (sekitar tahun 2007), ada dosen  gw yang bilang bahwa kacaunya cara berkendara pemotor itu, ya karena mayoritas dari mereka uneducated atau less educated, atau fully educated tapi cuma sebatas kepemilikan ijazah aja. Bener juga sih.

Tapi itu dulu. Kalo sekarang, menurut gw, pengendara motor udah hadir dari kalangan kelas A-, B, dan C. Semua pakai. Uneducated bikernya jadi berkurang dong? Ya ngga. Makin banyak toh kita liat di jalan raya, pemotor ABG tanpa helm; yang cowo sambil ngerokok, yang cewe seakan bangga dengan rambutnya yang berkibar-kibar kena angin minta dijambak. Pasti dia ngga pernah ke salon. Gw mah sayang deh rambut kena asap knalpot gitu. Makin banyak juga kita liat pemotor nyelonong aja padahal lampu lalu lintas lagi berwarna merah. Kalo dibilang buta warna, pasti tidak. Karena motor mereka pastilah colorful, mereka tahu cara memilih motor yang lebih berwarna dibanding padanan make upnya Ashanty.

Kenapa makin banyak pemotor berkelakuan minus padahal pengendara motor udah ngga cuma hadir dari kalangan uneducated saja? Karena kebodohan itu menular, sedangkan kepandaian susah untuk ditularkan. 1000 orang pintar akan kalah dengan 200 orang bodoh. Dari 10 pemotor yang berhenti di lampu merah, 6 darinya akan menerobos lampu merah, 2 pemotor akan kemudian ikut-ikut menerabas, dan sisanya ragu-ragu karena pada dasarnya melanggar lampu merah itu sungguh tempting dan mudah dilakukan buat pemotor. Kebodohan itu menular.

FPI, Forum Betawi Rempug, Forum Betawi Ala-ala, Forum Ummat Terbelakang, dan forum-forum lainnya makin berkembang. Fungsi mereka apa? Ngga ada. Besarnya forum mereka juga ngga bikin monorail atau MRT jadi cepat terbangun. Membahananya aksi mereka ngga membuat lokasi prostitusi di Jakarta Utara berkurang, malah makin seger. Padetnya aksesoris di badan ketua mereka ngga membuat tampilan ketuanya jadi lebih enak diliat. Terutama Habieb Resik, dokter-dokter operasi plastik di Korea juga bakal angkat tangan ngeliat muka bang Habieb. Jadi, forum mereka itu sebenernya ngga menawarkan solusi, ngga menjanjikan masa depan, ngga bikin pinter, and the most important thing is forum mereka ngga bikin ganteng.

Tapi forum mereka semakin besar aja. Kenapa bisa begitu? Karena lebih mudah membuat (kumpulan) orang bodoh dibanding menciptakan orang pintar. It takes decades for people to create an engineer, a doctor, a pilot, a nurse, a lawyer, a copywriter, etc. But it only needs 10 minutes for brainless people to create another brainless creature. Menularkan kebodohan itu no effort. Jadi ya jangan heran kenapa gerombolan mereka makin banyak. Bikinnya gampang!

Dunia hiburan Indonesia juga ngga kalah ruwetnya dengan lalu lintas Jakarta. Satu yang jadi concern gw adalah saluran tivi nasional Tranz dengan tayangan YKS (Yuk Kita Sembrono) nya. Tayang setiap hari mulai bulan Agustus 2013 dan sampai hari ini ngga mati-mati juga. Kenapa bisa tayang terus padahal isinya tidak mendidik--bahkan tidak menghibur?

Mari kita jabarkan beberapa pengisi acaranya di sini:

1. Deni Cagur: Tidak cakep, tidak lucu, tidak bisa bawain acara, bisa joget (tepatnya cuma satu joget; 100 hari acara, per acara durasinya 3 jam, cuma mengandalkan keahlian satu jogetnya doang, ngga mending pulang aja ke rumah nemenin istrinya kutekan?). Kesimpulan: tidak layak menghibur.

2. Raffi Ahmed: Tidak bisa melucu, ganteng sih (tapi masih lebih ganteng Chico Jericho), pembicaraan ngawur (bahkan kadang gw meyakini dia hadir dengan sisa mabok 40%), dan ngga bisa bawain acara. Coba deh kalian tonton 10 menit aja pas Raffi lagi ngelucu. Boro-boro ketawa, tersenyum pun tidak. Kesimpulan: belum layak keluar Lapas.

3. Cinta Laureuz: Mahasiswa Amerika, katanya udah diangkat jadi asisten dosen, dan IPnya cum laude. Tapi kok mau-maunya tampil di YKS dan joget-joget bareng artis murahan. Bitch, please? Kalo mau ngebohong soal study-nya, mbok ya jangan sampe muncul di tivi dan bisa diliat oleh gw. Ngelucu ngga bisa, bawain acara apalagi, nyanyi? Mungkin cuma dia dan nyokapnya aja yang bisa nikmatin. Akting? Di film "hollywood" ala-ala aja, dia cuma kebagian satu bait dialog dan adegan jatuh dari dari Monas, sungguh adegan yang gw harapkan bisa benar-benar terjadi buat Cinta. Kesimpulan: cocoknya masuk Universitas Bung Karno jurusan Teknik Mesin, instead of Columbia University, America.

4. Olga Syahputri: Jujur, dulu gw sempet anggap dia lucu, lho. Tapi makin lama, kemampuan ngelucunya ngilang. Jadi gemar menghina, ngomong seenak jidat, kelakuan urakan, dan suka memakai heels. Gw juga gemar menghina sih, tapi at least gw ngga suka memakai heels. Gw suka menghina, tapi alasan gw kuat soal apa yang gw lagi hina. Penyanyi dengan suara jelak, contoh. Penari dengan liukan tubuh sekaku adonan donat yang kurang air, misalnya. Tapi Olga? Seakan menghina tanpa disertai pikiran yang jernih dan otak yang pernah diisi pelajaran PPKn dan Bahasa Indonesia kelas 1-6 SD. Pernah dia komen ke salah satu penyanyi seriosa papan atas seperti ini: "Bapak ngga cape mulutnya mencong-mencong gitu pas nyanyi?" Cong, please? Kesimpulan: Sudah tidak pantas diberikan kehidupan di dunia ini.

5. Caisar si pemilik goyang Caisar: Udah? Udah belum jogetnya? Ya, cuma bisa joget yang itu-itu aja. 6 bulan, setiap hari, jogetnya itu-itu lagi bentukkannya. Gw ngeliatnya aja bosen tanpa pernah sebelumnya menyukai joget tersebut. Yang bisa dilakukan selain joget? Ngerokok, ngomong, jalan kaki, duduk, melihat, naik tangga, makan, minum, bernafas. Kesimpulan: lanjutin SMP sampe kelar aja dulu.

Dari kelima (dengan total tauk lah ada berapa) pengisi acara YKS tersebut, semuanya ngga ada yang layak menghibur di mata gw. Tapi kok acaranya laris? Ya karena 80% komposisi penonton tivi nasional adalah mereka-mereka yang, sebutlah tidak pintar. Acara yang ngga pintar memang cuma bisa ditonton oleh orang-orang dengan kemampuan berpikir yang ngga tinggi-tinggi amat. Simplenya, ngga mungkin lah ada alay mau nonton program Brain Games di Natgeo atau ada cabe-cabean yang sudi nonton Primetime News di Metro TV.

Jadi, jangan heran soal kenapa YKS bisa banyak iklannya padahal acaranya ngga lucu dan ngga sedikitpun mendidik. Lah wong penontonnya juga ngga ada yang terdidik. Selama mayoritas penonton tivi nasional belum memiliki kualitas otak seperti layaknya isi otak yang dimiliki oleh lulusan diploma, tayangan YKS dan yang serupanya juga akan terus diminati dan berkibar di negeri ini.

Jadi, masih mau heran dengan ketidaksempurnaan-yang-gw-maksudkan-di-topik-ini yang ditawarkan di negeri kita ini? Kalo gw sih, tidak. Gw akan coba berhenti heran ketika melihat penyanyi dengan kualitas suara yang tidak lebih merdu dari suara Jessica Iskandar tapi kok laku. Ya karena mayoritas penikmat musik lebih melihat ke paras dan sensasi yang ditawarkan si penyanyi kelas karbit.

Gw akan berhenti ngga habis pikir kenapa Enji bisa setega itu meninggalkan Ayu Ting-ting seperti halnya gw akan berhenti heran soal ayahnya Ayu Ting-ting yang kemayu dan bertutur kata lembut seperti putri-putri jawa itu.


Katanya, penjualan albumnya udah memasuki angka 7x platinum (1 platinum = 75.000 keping album rekaman). Iiih, banyak ya? Gw awalnya heran banget. Malah sempat curiga. Albumnya kan dijual di store KFC, mungkin orangnya salah ngitung kali. Instead of ngitung penjualan albumnya Fatin, mas-masnya malah ngitung penjualan ayam paha KFC harian. Ketuker gitu. Masa bisa banyak banget yang beli album si penyanyi seukuran botol kecap ini?

Tapi ya, gw ngga boleh heran. Mungkin emang publik cuma membeli dramanya Fatiningsih; gadis lugu yang bersuara emas (plis deh), gadis berperawakan desa, yang lebih cocok mencuci baju di sungai Cisadane-kemudian-terbawa-hanyut-arus-aliran-banjir-kiriman, namun ternyata (dianggap) bisa nyanyi, dan karna Fatin adalah juara X-Factor Indonesia. Semua orang fokusnya ke Fatin sebagai juara X Factor, tanpa melihat bahwa juri X Factor Indonesia itu salah satunya adalah Ahmad Dini, yang buat ngejuriin lomba balap karung tingkat RT aja sebenernya dia ngga akan kompeten, secara otak dan sikap. Juri lainnya? Ah yasudahlah. Alhamdulillah acara tersebut sudah berakhir dan menelurkan satu artis orbitannya yang suaranya tidak lebih baik dari juara-4 lomba nyanyi di Mal Taman Anggrek.

Belakangan, Fatin ngeluarin buku yang menurut gw, covernya lebih cocok buat dijadiin cover album foto versi Fuji Film. Fokus ke gaya hormat Fatin di depan Musee du Louvre di foto atas. Oh, please. Ngga ada gaya lain? Itu ngajak orang foto buat cover buku atau lagi foto-foto buat kepentingan study tour? Fotografernya gimana? Yang ngedesign cover albumnya gimana? Semua pihak nampak tidak total, sama dengan keahlian bernyanyi Fatin. Jadinya ya ngga heran. Fatin selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sekualitas dengannya; manajemennya, krunya, dan penggemarnya, semuanya datang dengan kualitas yang sama dengan Fatiningsih dan tentunya mendukung dan mencintai kekurangan dia.

Di lagu Fatin dengan judul Aku Memilih Setia, semua bagian dinyanyikan dengan teknik ngeden, suara serak-serak basah yang gagal, dan tanpa bagian-bagian klimaks sehingga membuat lagu menjadi datar-sedatar alunan cerita sinteron Tukang Bubur Naik Haji episode ke 1000 yang ditayangakan pada tanggal 25 Desember. Oh dear, Fatin. Sesungguhnya dari kesan awal aja, nama kamu lebih cocok dijadikan sebagai nama Warteg: Warteg Fatin. Atau Warnet Fatin. Atau Pijit Bu Fatin. Pokonya bukan nama artis.

Sebagai penyanyi, aura bintang ngga ada, kualitas diva ngga punya, suara emas (mudah-mudahan sampe tua) juga ngga dapet. Yaudah lah. Mumpung masih banyak uang, mending beli tanah dan bikin empang buat disewain untuk pemancingan warga.

Aku sih ngga heran.