Pak, apply kartu kreditnya, pak?
Jangan panggil saya dengan sebutan 'pak'! Saya masih muda, kamu tahu itu!
Oh. Maaf. Kartu kreditnya, mbak?
Ngga usah, mas. Saya udah punya. Sample white coffeenya secangkir aja, ada?
Bisa apply langsung platinum lho, mas. Ngga pake slip gaji, cukup sertakan KTP dan kartu member Delta spa di jaringan mana saja.
Pendek kata, gw terbujuk rayuan si masnya. Gw kasih KTP dan kemudian tanya jawab layaknya pemohon kartu kredit dan sales bank pun berlangsung.
Gaji bapak per bulan berapa?
950ribu. Uang makan 12.500 per hari. Rokok 1 slop per bulan.
Divisi bapak di kantor?
PR, mas...
Oh Viar.. *dia tulis di kertas*
Bukan, mas. PR.
Oh gini, mas. VR...
Public Relations, mas...
Oke, Pablic Reliasions.. *yang kebacanya di kertas masnya seperti itu*
Gw pun nyerah. Ambil pulpen dan nulis sendiri di kertas masnya. Lain kali ditanya jabatan, mungkin gw akan bilang sebagai kuli atau tukang setrika di komplek perumahan aja, yang kedengerannya umum di telinga masyarakat dan gampang ditulis. Aku ngga marah ke masnya sih, walau agak kecewa kenapa Roma Irama ngga jadi maju nyapres.
Salah tempat. Facebook sudah layaknya ajang kampanye. Ah, tapi sudahlah. Itu udah terlalu mainstream. Kita bahas salah tempat yang lain. Tersebutlah pasangan suami-istri yang sedang dalam proses perceraian; Marshindi dan Ben Kainkafan. Secara jujur, gw ngga pernah yang namanya menyukai Marshindi. Pada jamannya sinetron Bidadari dulu, gw sama sekali ngga pernah mendukung dia dengan perannya sebagai gadis baik, alim, dan tak berdaya. Dia terlihat angkuh dan sombong layaknya anak SD dengan uang jajan di atas Rp 10.000 dan pulang pergi diantar dengan sedan.
Di sinetron Bidadari, gw lebih berharap agar Ibu Peri suatu hari salah mengonsumsi nasi uduk basi terus kemudian diare dan meninggal sehingga tidak bisa membantu Lala ketika dia sedang kesusahan. Atau, Bom-Bom (musuhnya Lala) yang pada akhirnya bisa menyakiti atau sekedar membunuh Lala (Marshindi) di kantin sekolah ketika Lala sedang antri membeli cilok dan es serut. Tapi itu tidak pernah terjadi, walau tetap pada akhirnya Andida Mutiara Sabila Purnomosidi lah yang berhasil menyakiti Marshindi di dunia nyata. Thanks, Din.
Ben Kainkafan. Gw pertama tau dia di radio dan kemudian dia masuk ke dunia pertelevisian alias sinetron. Entah bagaimana caranya, akhirnya Marshindi dan Ben Kainkafan menikah. Ben menikahi Marshindi dengan status Marshindi sebagai mantan artis gagal move on di Youtube dan bekas bintang iklan Es Mony yang gagal di pasaran, pada masanya. Ben mungkin melihat masa depannya yang cerah jika hidup dengan Marshindi, artis dengan segudang kegagalan di hidupnya.
Sayangnya hubungan mereka harus berakhir. Sayangnya juga berita cerainya harus diumbar-umbar. Sayangnya pula Marshindi masih belum sembuh. Dia pernah suatu kali dateng ke acara bincang-bincang Item-Putih. Dia beberkan semua masalah rumah tangganya di situ sambil nangis-nangis. Tadinya gw nunggu-nunggu dia curhat sambil joget kayak biasa di Youtube, tapi sayang di acaranya ngga diputer lagu Spice Girls. Malah Marshindi yang nyanyi. Nyanyi lagu All of Me by John Legend. Lagu yang enak didenger, tapi susah dinyanyiin. Namun, itu ngga menghalangi Marshindi, selaku artis timbul-tenggelam yang bercita-cita menjadi seorang insiyur pertanian, penyanyi, dan seorang psikolog (based on Wikipedia. Anw, ini nentuin cita-citanya sambil ngupil di pinggir sumur kayaknya ya? Random amat), untuk menyanyikan lagu All of Me tersebut. Hasilnya? Berantakan. Marshanda menyanyikan lagu tersebut dengan terpontang-panting. Ibaratnya, kualitas vokalnya dia memang pantas dicerai suami. Tolong dia, Ibu Peri.
Beberapa hari setelah Marshindi curhat soal perceraiannya di tivi, giliran si Ben tampil di publik dan membongkar masalah rumah tangganya.
Postingan Ben kemudian mendapat banyak emoticon sad, dalam hal ini, banyak orang yang mendukung dia. Buat gw, yah pamer drama aja ni orang. Ben, daripada kamu ngejemput sesuatu yang sia-sia, mending bantuin kakak gw buat ngejemput pembokatnya dari Banjar. Udah dari 14 Februari, dia alasan ngga bisa balik ke rumah. Dua Maret, dia bilang mobil travelnya penuh. 4 Mei, katanya hujan deras dan banjir di kampungnya. 2 Juni, katanya bentrok dengan lomba karoke dangdut di kampungnya. Kakak aku salah apa, Ben? Kakak gw juga punya hak yang sama dengan IRT lain, yakni hak untuk memiliki PRT yang ngga suka dandan dan ngga gemar memakai celana legging ketat kembang-kembang. Ben, aku udah coba telpon dia tapi direject. Terakhir aku telepon dia tapi RBTnya ternyata lagu Mabok Duda versi Pantura Koplo, aku males, jadinya aku tutup telepon di detik ke 184 setelah nada tersambung *ternyata nikmatin sampe lagunya abis* Semoga hati dia melunak bagai duri ikan sarden kalengan yang udah dipanasin 5 kali tapi belum ada yang makan. Aku posting ini karena tidak ada akses lain untuk mencari PRT yang gampang tanpa makan ati. Aku tunggu di depan Mal Klender. Ben, mungkin Caca ngga keluar rumah karena lagi bikin video klip terbaru di Youtube. Kabarin aku kalo udah jadi videonya.
Ngapain sih, Ben, pake umbar-umbar masalah rumah tangga di media sosial? Terbukti setelah dia posting itu, ngga ada tuh orang yang dateng ke depan rumah Caca sambil bawa traktor buat buat ngehancurin pager rumah Caca. Ngga ada tuh segerombolan orang yang dateng sambil bawa spanduk "Front Pembela Ayah Rindu Anak".
Dapet apa dari umbar masalah di media sosial? Iba? Apa yang bisa kita manfaatkan dari segunung rasa iba yang diberikan oleh orang lain? Another keterpurukan? Comfort zone di dalam lumpur masalah?
Salah Perhitungan. Tadi pagi, gw jalan ke kantor dengan melewati Stasiun Sudirman demi menghindari kemacetan. Ternyata di sana macet juga. Apa yang bikin macet? Orang-orang yang pada keluar stasiun buat nyebrang jalan. Bukan salah penumpang kereta, bukan juga salah Bunda Dorce, bukan pula salah Melly Goeslaw yang beberapa tahun terakhir dandannya seperti burung merak banci. Jalanan di depan stasiun emang sempit dan letak pintu keluar stasiun yang juga mepet ke jalan. Tumpah ruah di situ, antara penyebrang yang merupakan pekerja yang sedang menuju ke kantor masing-masing, pegawai klub dangdut Asmoro yang siap-siap pulang, atau pencopet yang menyamar sebagai pekerja. Bikin macet.
Tadinya sepi, beberapa tahun sebelum Stasiun Sudirman diaktifkan kembali seiring dengan hadirnya communter line. Dulu, hampir ngga ada kereta yang berhenti di situ. Tapi kemudian setelah stasiunnya kembali aktif, langsung chaos. Seakan pengaktifan stasiun Sudirman tanpa disertai pemikiran bahwa ada jalan yang musti dilebarin, perlu hadir under pass buat penumpang biar ngga bikin macet jalanan (agak repot sih bikin under pass, penyediaan trotoar layak pakai di jalanan aja baru akan jadi ketika Korea Utara udah jadi negara maju), dan harus disediakan lahan parkir yang memadai di dekat stasiun buat antisipasi parkir liar yang membuat sempit jalanan yang memang sudah ditakdirkan tidak akan lebih luas dari ukuran kuburan orang yang pelit.
Tapi itu masalah kota. Boring. Sampe kontrak Freeport akhirnya habis, ngga akan pernah tercapai solusinya. Mari ngomongin artis. Yuanita, mantan istrinya Daus Mono. Ya, bukan artis juga sih sebenernya, cuma sering nongol di tivi. Dia minggu ini dikabarkan dekat dengan seorang bule, yang ternyata ngga kaya, ngga muda, dan udah punya keluarga. Semuanya (kecuali soal umur) Yuanita ketahui belakangan. Entah apa yang dipikirkannya ketika dia menerima cinta si bule, seperti juga entah kenapa dia mau menerima pinangan Daus Mono pada masa itu. Aku ngga bilang Daus Mono kurang menarik lho. Hanya mempertanyakan alasan Yuanita aja. Termasuk mempertanyakan kenapa make up Yuanita selalu kayak mau ke kondangan di kampung sebelah tiap muncul di tivi. Dunia tivi itu glamor. Ngga mungkin kita keluar rumah dengan mengenakan lipstik Viva, bedak Marcks, atau minyak wangi merk Pucelle. Ngga mungkin. Tapi Yuanita? Seakan melanggar semua kodrat artis. Lumatkan dia di neraka.
Jono. Ada yang familiar dengan nama ini? Dia pria bule, artis, semi-musisi, yang menikahi seorang perempuan asal Aceh. Seorang perempuan yang... Aku ngga mau jahat. Tapi silahkan kalian sendiri yang mencoret pernyataan mana yang tidak sesuai dengan kondisi si perempuan yang diperistri Jono ini ya...
Cantik, kurang cantik, nyablak, ayu, putih, gelap, elegan, agak kampungan, bersih, kotor, seksi, bodi ngejeblak, bergaya, kurang make up, penuh pesona, bodi ngejeblak *diulang*.
Oh sebentar, biar aku bantu, takutnya kalian bingung.
Yang gw pertanyakan ke Jono sebenernya masih sama seperti gw mempertanyakan tindakan si Yuanita. Why. "Bule emang doyannya yang kayak gitu," kata orang-orang. Eksotis. Ya bener, gw pun setuju. Tapi akhirnya si Jono berniat meninggalkan si istri. Warna kulit bak gadis Bali, postur tubuh bak hantu Bali.
Gw pernah liat liputan keluarga mereka ketika merayakan tahun baru, yang kebetulan dihabiskan dengan memasak ayam bakar. Si istri kebagian memotong ayam dan dia membelah bagian tubuh ayam seperti... Layaknya tukang ayam menjagal ayam-ayam di pasar. Ngga ada elegan-elegannya sama sekali. Ketika si istri berbicara, seakan di bibirnya terdapat ratusan TOA mesjid ukuran mini yang membuat volume suaranya bagai petir di siang bulan Ramadhan (biasanya sepi). Aku terkejut.
Jono, mengapa kamu menyesal sekarang? Alasan kita meninggalkan seseorang kan umumnya karena orang itu sudah berubah. Dari cantik menjadi tidak cantik. Dari langsing menjadi langsung. Dari kaya menjadi miskinawati. Dari muda menjadi tua. Lah ini, istrinya Jono kan sepengamatan gw kaga ada yang berubah. Begitu-gitu aja. Tidak tambah jelek, apalagi tambah cantik. Tidak bertambah gemuk, walau tidak mungkin juga bertambah langsing. Semua masih sama. Terus kenapa ditinggalin?
Salah Terus. Here comes Ahmad Dhoni dengan segala kekacauannya. Selain keputusannya untuk menikahi Maia Estianti dan membentuk grup band Dewa yang bisa tergolong sebagai hal paling benar yang Dhoni lakukan di hidupnya, entah kenapa semua hal yang dia lakukan selalu salah dan entah kenapa dia merasa benar dan wajar-wajar saja dengan hal tersebut. Kasus paling anyar sih soal kampanye politik dengan menggunakan seragam Nazi yang sampai diberitain dengan skala internasional.
Tapi aku ngga peduli dengan permasalahannya dia yang terakhir itu. Kecuali kalo dengan permasalahan ini kemenangan Fatin bisa dihapuskan dari X Factor Indonesia, baru gw akan concern. Apalagi setelah Fatin sekarang menang di ajang AMI Awards dan masuk ke halaman Sosok di Kompas yang membahas soal peluncuran buku barunya, bukan album barunya. Mau sekalian launch hijab tutorial di Youtube? AMI Award. Pada tahun-tahun sebelumnya, AMI Award selalu diselenggarakan di JCC atau gedung yang seukuran dengan itu. Namun pada 2013, AMI Award diselenggarakan di studio TV dan pada 2014, diadakan di Mal Kota Kasablanka. Pardon me? Itu acara award atau peluncuran hape? Dear Fatin, please jangan bangga dan mulai diminum susu Hi-Lo Teen-nya dua gelas setiap hari.
Kembali ke Ahmad Dhoni. Seperti yang pernah gw bilang di beberapa tulisan gw sebelumnya, janganlah kita memaksakan kemampuan dan keterbatasan seseorang. Mungkin memang Ahmad Dhoni bisanya cuma "segitu". Ada yang bilang dia kreatif. Itu dulu, mungkin. Sekarang, berapa banyak lagu karangannya dia yang mirip lagu luar negeri? Berapa banyak band dia yang meniru band luar negeri? Yang jelas, sampai Republik Cincin itu bangkrut, Al dan El sudah pasti masih akan kaku dalam berakting.
Sebenernya masih banyak sih kategori-kategori salah lainnya seperti Salah grammar yang udah ngga terhitung berapa banyak artis yang ngucap dunia entertain atau 'event' yang dilafalkan sebagai 'even' atau Salah Asuhan yang dampaknya menimpa Juwita Gahar yang belum jelas karirnya mau kemana. Menurut aku sih, lanjutin SMPnya aja dulu lah biar lancar baca-tulis.
Apapun itu, sebaik-baiknya pihak yang menyadarkan kesalahan kita adalah diri kita sendiri. But it takes time. Kadang harus terjadi dulu akibat (dari kesalahan kita) nya, baru kita bisa sadar "ada yang salah". Yang paling cepet mengetahui kesalahan di diri kita sih biasanya orang lain. Tapi manusia itu kan sensitif. Gw pun sensitif. Dikasih tau kalo kerjaan gw ada yang ngga bener, ngambek. Dikasih unjuk jalan yang benar buat menuntaskan suatu masalah, jengah dan ngerasa bahwa orang yang ngasih saran itulah yang salah dan sok benar.
Jadi bagaimana harus bersikap? Sebagai orang yang diposisikan salah, lebih baik banyak introspeksi dan ngga menutup diri dari saran orang lain. Namun sebagai pihak yang melihat kesalahan di diri orang lain, kita mending tahan diri dan ngomong di belakang aja. Daripada dia marah, ya ngga sih? Cos every human is vulnarable of making mistakes.